Senin, 14 Maret 2016

Kesenian

Gong Renteng
Gong Renteng merupakan alat musik Gong yang berruntun, yang terdiri dari 24 Gong, dari gong kecil sampai gong yang berukuran besar. Gong renteng ini dimainkan oleh 7 (tujuh) orang pemain, yang masing-masing memegang satu stel gong.
Adanya Gong Renteng di Desa Cibeusi ini sejak jaman kerajaan Mataram. Gong Renteng dibawa oleh Nenek Moyang Bapak Karso pada saat pemerintahan Kepala Desa Cibeusi yang dipimpin oleh Eyang Kasi yang merupakan Kepala Desa ke-2 Desa Cibeusi. Gong Renteng didatangkan langsung dari Jawa Tengah dari Mataram. Gong Renteng merupakan pusaka Desa Cibeusi khususnya di Dusun Neglasari. Gong Renteng sendiri sampai sekarang sudah hampir 9 turunan sampai ke Bapak Karso. Sebelum diwariskan kepada Bapak Karso, Gong Renteng ini digunakan  untuk merayakan pernikahan anak perempuan dari Eyang Kasi. Tetapi karena terkendala transportasi, maka Gong Renteng yang semula akan dimainkan pada saat pernikahan anak dari Eyang Kasi tidak jadi dimainkan. Akibat keterlambatan tersebut, maka Gong Renteng sampai sekarang tidak pernah dimainkan saat pernikahan anak perempuan dan hanya dimainkan pada saat acara khitanan anak laki-laki dari keturunan Eyang Kasi.
Dahulu pementasan Gong Renteng sendiri hanya pada saat hajatan anak laki-laki dari keturunan nenek moyang Bapak Karso, tetapi sekarang Gong Renteng sudah biasa dimainkan pada saat acara khitanan, walaupun anak laki-laki tersebut bukan keturunan dari nenek moyang Bapak Karso.
Adapun lagu yang dimainkan pada saat pementasan Gong Renteng hanya ada 9 (Sembilan) lagu, dimana 7 (tujuh) lagu dari ke Sembilan lagu tersebut merupakan lagu wajib. Tujuh lagu tersebut adalah Mapag, Badaya, Dengkle, Rincong, Rincang, Aming dan Sulanjana.


Sisingaan
Sisingaan merupakan kesenian tradisional dari Kota Subang. Sisingaan itu sendiri adalah budaya kesenian tradisional yang terdiri dari rangkaian acara pencak silat yang diiringi musik gamelan  dan dilanjutkan dengan arak-arakan. Arak-arakan dilakukan dengan menaiki tandu boneka singa yang ditumpangi oleh anak-anak  yang dikhitan ataupun tamu-tamu yang diistimewakan. Tandu boneka singa yang digunakan untuk arak-arakan diharuskan untuk berjumlah genap dan tidak diperbolehkan untuk berjumlah ganjil dengan alasan pamali.
Alat musik yang digunakan untuk mengiringi pencak silat adalah kendang, bonang dan kecrek. Musik gamelan yang dilantunkan diiringi juga oleh nyanyian seorang sinden atau yang umum dikenal di Desa Cibeusi dengan nama juru kawih.lagu-lagu yang dilantunkan saat pentas adalah lagu-lagu khusus yang wajib dilantunkan setiap pementasan. Lagu-lagu khusus yang dilantunkan di antaranya adalah kembang gadun, buah kaum, dan kembang bereum.
Saat ini, budaya kesenian sisingaan di desa Cibeusi dikelola oleh Ibu Titi dengan nama kelompok sisingaan Giri Mekar Saluyu. Awalnya, budaya kesenian sisingaan ini memasuki desa Cibeusi dibawa oleh bapak dari ibu Titi yang berasal dari Subang. Anggota kelompok yang dikelola oleh Ibu Titi berasal dari warga sekitar Desa Cibeusi yang beberapa orang merupakan anggota keluarga dari Ibu Titi. Lamanya kesenian yang dikelola oleh Ibu Titi ini membuat pengalaman anggota kesenian ini menjadi semakin profesional, sehingga latihan yang dilakukan untuk pentas tidak dilakukan secara rutin tetapi dilakukan hanya satu kali sebelum tampil apabila ada undangan untuk melakukan pentas
Pementasan yang pernah dilakukan oleh kelompok sisingaan yang dikelola oleh Ibu Titi ini tidak hanya dipenaskan Desa Cibeusi saja, tetapi ke desa-desa tetanga bahkan ke Jakarta, Banten, Bandung dan daerah-daerah lainya.

Celempung
Celempung merupakan alat musik tradisional yang khas dari Desa Cibeusi yang ada di Dusun I Peuntas. Alat musik Celempung ini dahulu hanya dimainkan oleh perseorangan saja, dan biasanya dimainkan saat sedang di sawah. Celempung terbuat dari bambu yang di set sesuai nada.
Awalnya Celempung hanya ada satu jenis saja, tetapi oleh Bapak Entoy dimodifikasi sehingga ada beberapa alat seperti Gendang, Kosrek, Gong, Kecrek, Kokol 1, Kokol 2 serta Kokol 3. Bapak Entoy sendiri mengatakan bahwa adanya modifikasi atau variasi dari alat musik Celempung berawal dari perkumpulan anggota Karang Taruna di RW 01 Dusun Peuntas yang memiliki ide untuk memecah Celempung menjadi beberapa jenis alat seperti yang disebutkan diatas.
Setelah Bapak Entoy mendirikan kelompok musik yang beranggotakan pemuda karang taruna, pada awalnya kesenian musik celempung ini dimainkan oleh orang dewasa. Tetapi sekitar 1-3 tahun lalu Bapak Entoy mendidik anak-anak di dusun peuntas desa cibeusi yang bertujuan untuk melestarikan kesenian budaya celempung yang khas dari desa cibeusi.
Pada awalnya kesenian Celempung ini hanya dikenal oleh warga Desa Cibeusi dan sekitarnya saja. Namun setelah Bapak Entoy mengelola dan mendidik anak-anak Desa Cibeusi untuk memainkan alat musik Celempung, maka hal ini menarik perhatian orang banyak, sehingga hal ini menarik perhatian beberapa media massa untuk memperkenalkan Celempung ke masyarakat luas.
Belakangan ini Celempung sering dimainkan untuk memeriahkan Hari Kemerdekaan Indonesia setiap tanggal 17 Agustus. Selain itu, Celempung juga sering dimaikan pada acara-acara besar seperti Ulang Tahun Desa (Rautan Bumi), hajatan ataupun acara lainnya yang ada di Desa Cibeusi.



Ruwatan Bumi
Adat yang masih rutin dilaksanakan Desa Cibeusi adalah Ruwatan Bumi. Ruwatan Bumi merupakan ungkapan syukur atas hasil yang diperoleh dari bumi, pengharapan setahun ke depan, penghormatan kepada leluhur dan meminta di jauhi dari bencana. Ruat dalam bahasa Sunda berarti mengumpulkan dan merawat. Yang dikumpulkan dan dirawat adalah masyarakat dan hasil buminya.
Dalam tradisi Ruwatan Bumi, padi memiliki tempat istimewa. Padi atau beras dalam keyakinan masyarakat setempat, tidak hanya sebagai bahan pangan. Padi diyakini bermula dari aktivitas Dewa-Dewi sehingga bersifat sakral dan segala proses menghasilkannya dipandang suci.
Upacara Ruwatan Bumi di Desa Cibeusi terhitung paling tua dibandingkan dengan kampong atau desa lain. Menurut Eming, kuncen di Kampung Peuntas, Desa Cibeusi, perayaan tahun ini merupakan yang ke-483 karena berdasarkan cerita turun-temurun dari leluhur, hajat bumi telah dilaksanakan di Desa Cibeusi sejak tahun 1527 Masehi.
Prosesi hajat bumi berlangsung lebih dari sebulan, mulai dari dadaheut (perencanaan) hingga pentas hiburan sebagai puncak acara. Diawali dengan pentas seni gemiyung pada malam menjelang hari pelaksanaan, prosesi dilanjutkan dengan ritual potong padi, numbal dan menyimpan sesaji, selamatan, arak-arakan, dan berziarah ke makam leluhur sejak pagi hingga siang.
Ruwatan Bumi melakukan ritual dengan memotong kepala kambing, sapi atau domba lalu di kafankan dan dikubur di tempat-tempat yang oleh masyarakat dianggap sakral sebagai penjuru desa. Namun karena perkembangan agama Islam, salah satu tempat yang dianggap sakral oleh masyarakat tersebut sekarang sudah didirikan sekolah Tsanawiyah.
Ruwatan Bumi hingga sekarang masih di pimpin oleh seorang kuncen dan dilaksanakan setiap bulan Muharam. Perayaan Ruwatan Bumi ini masih dijalankan oleh para sesepuh yang masih mempertahankan adat, sedangkan para pemudanya lebih antusias untuk mengikuti acara hiburannya saja.

Gemyung
Gemyung merupakan salah satu alat musik yang membantu menyebarkan agama Islam di Desa Cibeusi. Alat musik ini biasa lebih dikenal dengan sebutan Terbang. Alat musik ini awalnya berasal dari Cirebon, putra Prabu Siliwangi yang bernama Puspadiwangsa berguru ke pesantren di Cirebon lalu melestarikan kesenian Gemiyung di Desa Cibeusi. Gemyung berasal dari ajaran wali songo.
Lagu-lagu Gemyung sangat khusus dan sakral. Biasanya liriknya berisikan puji-pujian kepada Allah SWT dan sebelum pementasan selalu diadakan ritual berupa sesajen yang bertujuan untuk penghormatan kepada leluhur. Hanya sesepuh yang boleh memainkan alat musik gemyung ini dan sampai saat ini belum diturunkan ke generasi berikutnya sehingga tidak pernah melakukan latihan rutin. Saat ini, alat musik Gemyung dikelola oleh Pak Lili.